Entri Populer

Jumat, 02 Agustus 2013

Kehilangan Sang Fajar

    Ketika semua nyawa masih dalam lelapnya, ketika mentari urung menyembul barang kali sedikit untuk menghangatkan, dia sudah terbangun. Matanya seakan sudah kembali dari butanya tidur, tak peduli si jantan belum berkokok memanggil pagi. Ia sudah siap. Siap mengawali harinya yang luar biasa. Sedikit-sedikit mata pandanya mengerjap di sela-sela jendela, hanya merasakan suara yang ia tangkap dari pendengarannya. Apakah sudah bangun si gendut merah? Tak ada kaki yang berjalan di luar kamar, tak ada nyawa yang bernafas di luar kamar. Panti itu masih hening. Teman sebayanya belum ada yang mengharu biru, mengeluh, menyambut hari melainkan masih terbujur di atas ranjang lusuh berpeluk bersama mimpi masing-masing.
    Tangannya meraba dinding mencari pintu kamar. Kaki mungilnya bekerja sama dengan sepasang tangan untuk mencapai pintu. Perlahan ia buka pintu kamar dengan sangat hati-hati. Jangan sampai menimbulkan desitan suara.Udara dingin subuh menusuk hingga ke tulang, badan mungilnya berusaha untuk bertahan melawan dingin. Segitiga berselaput kabut terlihat memesona di ujung cakrawala. Kebun strawberry berjajar rapi di depan panti. Hawa yang begitu sejuk. Kadang ia merasa sangat menyesal dengan takdir. Seandainya sepasang mata cantiknya dapat memandang luas, tak perlu ia meraba setiap kali ingin berjalan, tak perlu ada bantuan ketika ia tergopoh jatuh tersandung. Namun upayanya untuk sadar diri haruslah tetap berlanjut, karena nyawanya adalah milik-Nya.
    Mencari titik emas di pagi buta adalah kesehariannya sejak seminggu terakhir. Sebelum adzan subuh berkumandang, sering kali ia duduk di batu depan panti merasakan sejuknya udara bersih. Merasakan jajaran kebun strawberry di hadapannya. Angin kecil menyentuh lembut pipi mungilnya, seakan menyapa riang. Senyumnya tak pernah luput menyungging di wajah cerahnya. Ditambah lagi sepasang lesung pipit yang menjadi pengawal senyum manisnya.
    "Meylana.."
    Suara itu tak asing di kupingnya. Matanya mengerjap mencari sumber suara. Tangannya meraba-raba ke belakang mencari sosok yang amat dikenalnya.
    "Kak Intan?"
    "Aku tahu, subuh buta ini selalu asyik menyambut kau disini. Kaupun begitu, begitu asyik menyapa pagi dengan tersenyum bersama lesung pipimu yang begitu manis."
    "Darimana kakak tahu aku sering disini? bukankah penghuni panti masih terlelap?"
    "Setiap kali kau meraba mencari pintu keluar dari kamar aku menyaksikannya sayang."
    Senyum kak Intan begitu lembut. Tangannya mengelus rambut panjang Meylana yang dibiarkan terurai. Lalu dengan riang menemani Mey menyaksikan subuh buta bersama. Ketika adzan subuh berkumandang, itulah saatnya Mey harus kembali ke panti. Sebab sebelum ada yang tahu Mey keluar subuh buta, Mey harus berada di dalam kamar. Kak Intan adalah sukarelawan panti ini. Panti Asyifa namanya. Disini kebanyakan penghuninya adalah anak berkebutuhan khusus, seperti Meylana. Wanita mungil ini tuna netra. Matanya tak lagi dapat menatap, hanya sepasang tangan yang dapat meraba, sepasang telinga yang mendengar, dan sepasang kaki untuk melangkah.
    "Ada yang kau saksikan disini sayang? apakah ada pertunjukan menarik dihadapan kau?"
    "Hm.. Aku seperti bidadari di subuh buta ini kak. Hanya merasakan indahnya pagi, ketika si kuning belum ingin aku merasakan hangatnya tapi aku ingin merasakan dulu sejuknya gelap di mata kalian. Aku disini bagai burung dengan sayap terindah yang terbang mencari titik emas. Dimana menanti sang fajar timbul itulah yang kurasakan saat ini." Senyum hangatnya selalu terlihat riang dimata kak Intan.
   Semua orang mengagumi Meylana. Ia anak yang cerdas. Diumur 11 tahun ia mampu hidup di panti tanpa orang tua dengan kekurangannya. Banyak sekali orang dari kota ingin mengadopsinya sebagai anak dengan janji akan disekolahkan dan akan dijanjikan masa depan yang baik. Namun setiap kali dirinya diajak ke kota Meylana selalu menolak ajakan tersebut. Baginya panti di lereng gunung yang begitu asri ini adalah surganya. Biarlah ia menyambut masa depannya disini bersama teman sebayanya yang selalu menemani bermain, belajar membaca, hingga bernyanyi. Meylana sangat mencintai panti ini.
    Sore itu Meylana kebagian piket kamar. Ia meraba-raba membersihkan kamar bersama anak panti lain. Tiba-tiba pintu kamar berderik berbunyi. Pintu kayu lusuh tersebut didorong dengan kasar. Ya, si gendut merah datang. Karena anak panti sudah terbiasa dengan celotehannya setiap hari sekatika kamarpun hening tak ada yang berani bersuara kecuali si gendut merah. Si gendut merah adalah pengurus panti. Badannya yang besar, matanya yang melotot tajam, tangannya yang setiap berjalan terkepal, sangat kekar. Kalau berjalan sering kali Mey dan teman-temannya mengolok-ngolok dari belakang karena lemak ditangannya selalu seperti bergantung dan bertopang ditubuhnya, jika berjalan selalu bergoyang.
    "Meylana! kau dicari orang diluar. Cepatlah keluar. Yang lain tetap kerja kalian." dengan logat khas bataknya si gendut merah memanggil. Di luar ternyata datanglah orang dari kota. Lagi-lagi ingin mengadopsi Mey. Berita kepandaian, kecantikan, dan ketegaran Mey sudah menyebar luar karena kak Intan. Kak Intan sering kali menulis beberapa tulisan di dunia maya seperti cerpen yang mengisahkan Meylana. Ternyata yang akan mengadopsi Mey adalah seorang pejabat di kota. Panti akan dibayar mahal jika berhasil membujuk Mey untuk tinggal di kota bersamanya. Sepasang suami istri tersebut belum dikaruniai anak, jadi ia bermaksud untuk mengadopsi Mey. Walaupun Mey berkebutuhan khusus namun mereka siap membiayai dan menyekolahkan Mey di sekolah berkebutuhan khusus di kota.
   Mey terpaksa dibawa ke kota karena si gendut merah memaksa. Karena keluarga tersebut membayar panti dengan bayaran mahal dan menjanjikan akan terus membiayai semua kebutuhan panti. Kak Intan yang hanyalah sukarelawan tak dapat menggangu keputusan si gendut merah. Akhirnya Mey tinggal di kota. Di sana ia mendapatkan kemewahan, ia disekolahkan segala kebutuhan dan kemauan Mey terpenuhi. Tapi apalah arti itu semua jika ia harus kehilangan subuh butanya merasakan pertunjukan si burung terbang dengan sayap terindah, terbang bersamanya. Seakan-akan ia dapat melihat luas siulet segitiga di ujung cakrawala. Setiap harinya Mey diberi hadiah jika orang tua angkatnya pulang bekerja. Namun Mey menerimanya dengan perasaan sedih. Karena apapun yang diberikan kepadanya ia akan tetap kehilangan sang pagi bersama fajarNya.



Karena 'aku' tak butuh paksaan untuk bersamaNya.

 

 

2 komentar: