Ketukan
kasar dari balik pintu kayu terdengar kencang memekakkan telinga. Tangan yang terkepal
erat terus mengetuk menunggu tanggapan dari dalam. Aku tersentak dengan pekakan
yang membahana di sudut-sudut kamar. Dengan mata sayu aku berjalan menuju pintu
kayu yang menghubungkan kamarku dengan sisi luar. Jika dibuka pintu itu selalu
menimbulkan deritan kecil gesekan antara engsel pintu yang kering dan sudah
lama tidak diganti dengan yang baru. Tanganku menggenggam gagang pintu lalu
membuka pelan dengan perasaan kesal dengan makhluk yang telah mengganggu
lelapku. Pencahayaan di luar kamar sangat terang, mataku silau menatap mentari
yang menyentuh lembut wajah kusamku.
“Kenapa?”
aku mencoba mengenal orang dihadapanku.
Matanya bulat
membesar, badannya kekar, rambut gimbalnya lembut disentuh angin pagi. Aku
sangat mengenal pria berkaca mata ini.
“Thomas! Kau
harus berangkat sekarang, Tabulabu kebakaran. Aku yakin mereka membutuhkan kau.
Aku tak tahu bagaimana nasib anak-anak disana jika mereka harus menderita tak
punya tempat tinggal.” wajah cemas Tegar tampak jelas disetiap rautan wajahnya.
Keringat bercucuran disela-sela pelipis hitamnya.
“Kau dapat
berita darimana? Santai kawan. Kau seperti buronan yang dikejar anjing pelacak
polisi saja.” aku mencoba meyakinkan diri bahwa berita tersebut tidak benar.
Tabulabu
adalah tanahku yang kedua. Aku belajar banyak dari masyarakat disana. Mereka
membuat aku sangat mencintai negeriku. Betapa bahagianya mereka walaupun berada
di pelosok negeri dengan berbagai keterbatasan namun tetap memiliki semangat
untuk mempertahankan budaya dan kepercayaan mereka.
“Santai
bagaimana thomas? Kau begitu mencintai mereka dan merekapun juga. Aku yakin kau
sangat dibutuhkan disana. Setidaknya sebagai penghibur. Subuh tadi aku dapat
berita dari Koh Acong. Koh Acong bilang mereka membutuhkan pertolongan.”
Tanpa
berpikir panjang aku melompat mengemas barang-barangku untuk segera ke
Tabulabu. Tabulabu desa kecil di ujung Borneo. Waktu tempuh menuju Tabulabu
sekita 12 jam dari Kota Samarinda. Diperparah lagi dengan jalan yang tidak
kondusif dan harus berjalan kaki dari perbatasan Desa Taong menuju Tabulabu
sebab tak ada aspal mulus yang dapat dilewati kendaraan disana. Mobil jeep marmer dengan roda berlapis baja terparkir
gagah di depan kos-kosanku. Mobil itu siap mengantarkan kami menuju Tabulabu.
Disepanjang jalan aku menikmati semesta. Betapa hijaunya negeriku, betapa
kagumnya aku melihat keagungan-Nya. Hijau sepanjang mata memandang. Sepanjang
jalan terdapat 2 air terjun yang terjun mulus dari sumbernya. Jika tidak
terdesak aku selalu menyempatkan diri untuk bertandang kesana sekedar untuk merasakan
kesegaran airnya dan menenangkan sejenak pikiran yang kulut dan letih menuju
Tabulabu.
Perjalanan
diteruskan tanpa banyak berhenti untuk istirahat. Kami sudah berada di
perbatasan Desa Taong dan harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki
sekitar 2 jam untuk menuju Tabulabu. Tabulabu dihimpit diantara hutan dan
pekebunan. Jarang ada pendatang ke sana sebab letaknya yang jauh dari
keramaian. Aku mengenal tanah ‘kedua’ku itu hanya informasi dari internet. Aku
seorang pengagum semesta. Aku melihat, aku mendengar, dan kutuliskan setiap
tarikan nafasku pada catatan kecil. Diusia muda ingin kuhabiskan hanya untuk
berkeliling mencari kedamaian. Mencari titik dimana Tuhan mengutukku untuk
selalu bersyukur disetiap mata, telinga, perasaan merasakan semesta yang begitu
sempurna.
Awalnya aku
hanya menceritakan temuan baruku dengan seorang teman yang kutahu ia memiliki
jiwa sama sepertiku. Dengan modal berani kami menyusuri Nusantara untuk mencari
ranah Tabulabu. Tuhan mempertemukan aku dengan ‘surga’. Tabulabu desa yang amat
ramah, mereka sambut kami dengan kehangatan. Mereka kenalkan kepada kami budaya
yang sangat menakjubkan. Mulai dari bermain musik, hingga upacara-upacara adat
kepercayaan yang memuja semesta yang masih melekat dalam jiwa mereka. Anggap
saja aku relawan dadakan disana. Aku mengenalkan mereka dunia luar dan begitu
takjubnya mereka bahwa dunianya tidak hanya sesempit Tabulabu tapi mereka
memiliki dunia yang begitu luasnya.
Kami tiba di
Tabulabu tengah malam. Sambil menikmati angin malam aku menyusuri hutan lebat
menuju Tabulabu. Kunang-kunang malam menari-nari menyambut kedantangan kami. Berita
tersebut benar, Tabulabu kini hanya serpihan arang gosong. Bangunan yang masih
berdiri gagah hanya satu rumah diujung pintu gerbang Tabulabu, rumah tersebut
mereka kenal dengan sebutan ‘Rumah Suci’. Rumah suci adalah tempat mereka
bersembahyang memuja Tuhan-nya.
“Aku
tak tahu harus menolong lewat apa Tegar. Ranah ini telah tiada.” aku menahan
air mataku.
Di
pinggir Tabulabu, masyarakat membuat pengungsian kecil. Setengah masyarakat
Tabulabu mengungsi di Rumah Suci dan sisanya membuat perapian kecil di ujung
desa. Aku menghampiri kepala desa Tabulabu dengan perasaan yang amat sedih
melihat surgaku yang dilalap habis tanpa perasaan.
“Bapa,
saya turut berduka dengan bencana yang menimpa Tabulabu. Sebisanya saya akan
membantu bapa.”
“Terima
kasih Thomas. Terima kasih kau sudah berkunjung ke sini. Kami sangat
membutuhkanmu Thomas.” kepala desa
Tabulabu merangkulku erat sekali air matanya tak sanggup ditahan, dari kedua
bola matanya terjun lembut air mata kesedihan.
“Kami
tak tahu Thomas, bagaimana Tabulabu dapat dilalap dengan cepatnya. Malam itu
seluruh keluarga sudah terlelap, tiba-tiba saja salah satu warga mengetuk
rumahku mengabarkan berita duka tesebut. Aku langsung membangunkan warga dan
melipir ke Rumah Suci. Kini hanya gubuk inilah yang kami punya Thomas. Tabulabu
telah tiada.”
Aku
tak dapat menahan air mataku. Aku dekap kepala desa dengan perasaan turut
berduka.
“Sampai
saat ini belum ada yang tahu apa yang menyebabkan Tabulabu terbakar habis. Aku
bersama warga Tabulabu akan berusaha secepatnya menemukan penyebab kebakaran.”
lanjut kepala desa.
Keesokan
harinya aku turut membantu warga Tabulabu membereskan barang-barang dan mencari
puing-puing yang masih dapat digunakan. Sesudah berkeliling mencari puing yang
dapat digunakan kembali aku mencoba menghibur anak-anak di Tabulabu. Tabulabu
memiliki 3 kasta, yaitu kasta naka, jama, dan wata. Kasta naka adalah kasta
anak-anak, jama untuk remaja sampai dewasa, dan wata untuk penduduk lanjut
usia. Aku menghibur naka dengan menyanyikan lagu anak-anak lantas bermain
bersama melepas kesedihan. Mereka amat riang dan bersahabat denganku. Senyuman
mereka, kepalan tangan mereka, juga pasti akan berpengaruh untuk kemajuan
bangsa ini dimasa depan. Namun ketiadaan mereka di tanah yang pantas pendidikan
membuat mereka diabaikan.
“Woi…
Aku tahu siapa pelaku yang membakar habis Tabulabu.” Pekikan seseorang dari
kejauhan membuat aku bersama naka memberhentikan aktivitas kami sejenak.
Aku
berlari menjumpai warga yang memboyong dua orang berseragam hitam dengan topi
bundar yang melingkup di kepalanya. Ternyata dua orang tersebut berasal dari
kota. Mereka ingin menguasai hutan.
“Sejak
dulu mereka mengusir kami Thomas. Awalnya dengan diplomasi lembut namun kami
tidak terima Thomas tanah kami diambil begitu saja dengan manusia serakah yang
ingin merusak alam seperti mereka. Kami tolak mentah-mentah dan sudah 3 kali
mereka datang usai diplomasi pertama tapi kami tolak mentah-mentah dan sekarang
mereka bertindak kasar kepada kami. Kami temukan mereka di pinggir hutan sedang
menebang kayu. Mereka sungguh manusia terkutuk Thomas.” Jelas kepala desa
denganku di depan dua orang kota yang membakar Tabulabu.
Aku
tak dapat menahan air mata melihat tangis para naka dan seluruh warga Tabulabu
melihat dua orang serakah tersebut dihukum dengan diikat kedua tanggannya.
Namun Tabulabu tak butuh belas kasihan mereka untuk mengganti rugi kerugian.
Tabulabu tumbuh sendiri bersama alam. Mereka hidup dari alam tak ada campur
tangan manusia luar yang membantu. Aku yakin surgaku akan kembali gagah
menantang dunia. Sumpahku sejak melihat tangis mereka, aku akan terus dan tetap
mencintai surgaku abdiku untuk tanah kedua, Tabulabu.