Entri Populer

Kamis, 24 Juli 2014

Surga Kedua


            Ketukan kasar dari balik pintu kayu terdengar kencang memekakkan telinga. Tangan yang terkepal erat terus mengetuk menunggu tanggapan dari dalam. Aku tersentak dengan pekakan yang membahana di sudut-sudut kamar. Dengan mata sayu aku berjalan menuju pintu kayu yang menghubungkan kamarku dengan sisi luar. Jika dibuka pintu itu selalu menimbulkan deritan kecil gesekan antara engsel pintu yang kering dan sudah lama tidak diganti dengan yang baru. Tanganku menggenggam gagang pintu lalu membuka pelan dengan perasaan kesal dengan makhluk yang telah mengganggu lelapku. Pencahayaan di luar kamar sangat terang, mataku silau menatap mentari yang menyentuh lembut wajah kusamku.
            “Kenapa?” aku mencoba mengenal orang dihadapanku.
Matanya bulat membesar, badannya kekar, rambut gimbalnya lembut disentuh angin pagi. Aku sangat mengenal pria berkaca mata ini.
“Thomas! Kau harus berangkat sekarang, Tabulabu kebakaran. Aku yakin mereka membutuhkan kau. Aku tak tahu bagaimana nasib anak-anak disana jika mereka harus menderita tak punya tempat tinggal.” wajah cemas Tegar tampak jelas disetiap rautan wajahnya. Keringat bercucuran disela-sela pelipis hitamnya.
“Kau dapat berita darimana? Santai kawan. Kau seperti buronan yang dikejar anjing pelacak polisi saja.” aku mencoba meyakinkan diri bahwa berita tersebut tidak benar.
Tabulabu adalah tanahku yang kedua. Aku belajar banyak dari masyarakat disana. Mereka membuat aku sangat mencintai negeriku. Betapa bahagianya mereka walaupun berada di pelosok negeri dengan berbagai keterbatasan namun tetap memiliki semangat untuk mempertahankan budaya dan kepercayaan mereka.
            “Santai bagaimana thomas? Kau begitu mencintai mereka dan merekapun juga. Aku yakin kau sangat dibutuhkan disana. Setidaknya sebagai penghibur. Subuh tadi aku dapat berita dari Koh Acong. Koh Acong bilang mereka membutuhkan pertolongan.”
            Tanpa berpikir panjang aku melompat mengemas barang-barangku untuk segera ke Tabulabu. Tabulabu desa kecil di ujung Borneo. Waktu tempuh menuju Tabulabu sekita 12 jam dari Kota Samarinda. Diperparah lagi dengan jalan yang tidak kondusif dan harus berjalan kaki dari perbatasan Desa Taong menuju Tabulabu sebab tak ada aspal mulus yang dapat dilewati kendaraan disana. Mobil jeep marmer dengan roda berlapis baja terparkir gagah di depan kos-kosanku. Mobil itu siap mengantarkan kami menuju Tabulabu. Disepanjang jalan aku menikmati semesta. Betapa hijaunya negeriku, betapa kagumnya aku melihat keagungan-Nya. Hijau sepanjang mata memandang. Sepanjang jalan terdapat 2 air terjun yang terjun mulus dari sumbernya. Jika tidak terdesak aku selalu menyempatkan diri untuk bertandang kesana sekedar untuk merasakan kesegaran airnya dan menenangkan sejenak pikiran yang kulut dan letih menuju Tabulabu.
            Perjalanan diteruskan tanpa banyak berhenti untuk istirahat. Kami sudah berada di perbatasan Desa Taong dan harus melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 2 jam untuk menuju Tabulabu. Tabulabu dihimpit diantara hutan dan pekebunan. Jarang ada pendatang ke sana sebab letaknya yang jauh dari keramaian. Aku mengenal tanah ‘kedua’ku itu hanya informasi dari internet. Aku seorang pengagum semesta. Aku melihat, aku mendengar, dan kutuliskan setiap tarikan nafasku pada catatan kecil. Diusia muda ingin kuhabiskan hanya untuk berkeliling mencari kedamaian. Mencari titik dimana Tuhan mengutukku untuk selalu bersyukur disetiap mata, telinga, perasaan merasakan semesta yang begitu sempurna.
Awalnya aku hanya menceritakan temuan baruku dengan seorang teman yang kutahu ia memiliki jiwa sama sepertiku. Dengan modal berani kami menyusuri Nusantara untuk mencari ranah Tabulabu. Tuhan mempertemukan aku dengan ‘surga’. Tabulabu desa yang amat ramah, mereka sambut kami dengan kehangatan. Mereka kenalkan kepada kami budaya yang sangat menakjubkan. Mulai dari bermain musik, hingga upacara-upacara adat kepercayaan yang memuja semesta yang masih melekat dalam jiwa mereka. Anggap saja aku relawan dadakan disana. Aku mengenalkan mereka dunia luar dan begitu takjubnya mereka bahwa dunianya tidak hanya sesempit Tabulabu tapi mereka memiliki dunia yang begitu luasnya.
Kami tiba di Tabulabu tengah malam. Sambil menikmati angin malam aku menyusuri hutan lebat menuju Tabulabu. Kunang-kunang malam menari-nari menyambut kedantangan kami. Berita tersebut benar, Tabulabu kini hanya serpihan arang gosong. Bangunan yang masih berdiri gagah hanya satu rumah diujung pintu gerbang Tabulabu, rumah tersebut mereka kenal dengan sebutan ‘Rumah Suci’. Rumah suci adalah tempat mereka bersembahyang memuja Tuhan-nya.
            “Aku tak tahu harus menolong lewat apa Tegar. Ranah ini telah tiada.” aku menahan air mataku.
            Di pinggir Tabulabu, masyarakat membuat pengungsian kecil. Setengah masyarakat Tabulabu mengungsi di Rumah Suci dan sisanya membuat perapian kecil di ujung desa. Aku menghampiri kepala desa Tabulabu dengan perasaan yang amat sedih melihat surgaku yang dilalap habis tanpa perasaan.
            “Bapa, saya turut berduka dengan bencana yang menimpa Tabulabu. Sebisanya saya akan membantu bapa.”
            “Terima kasih Thomas. Terima kasih kau sudah berkunjung ke sini. Kami sangat membutuhkanmu Thomas.”  kepala desa Tabulabu merangkulku erat sekali air matanya tak sanggup ditahan, dari kedua bola matanya terjun lembut air mata kesedihan.
            “Kami tak tahu Thomas, bagaimana Tabulabu dapat dilalap dengan cepatnya. Malam itu seluruh keluarga sudah terlelap, tiba-tiba saja salah satu warga mengetuk rumahku mengabarkan berita duka tesebut. Aku langsung membangunkan warga dan melipir ke Rumah Suci. Kini hanya gubuk inilah yang kami punya Thomas. Tabulabu telah tiada.”
            Aku tak dapat menahan air mataku. Aku dekap kepala desa dengan perasaan turut berduka.
            “Sampai saat ini belum ada yang tahu apa yang menyebabkan Tabulabu terbakar habis. Aku bersama warga Tabulabu akan berusaha secepatnya menemukan penyebab kebakaran.” lanjut kepala desa.
            Keesokan harinya aku turut membantu warga Tabulabu membereskan barang-barang dan mencari puing-puing yang masih dapat digunakan. Sesudah berkeliling mencari puing yang dapat digunakan kembali aku mencoba menghibur anak-anak di Tabulabu. Tabulabu memiliki 3 kasta, yaitu kasta naka, jama, dan wata. Kasta naka adalah kasta anak-anak, jama untuk remaja sampai dewasa, dan wata untuk penduduk lanjut usia. Aku menghibur naka dengan menyanyikan lagu anak-anak lantas bermain bersama melepas kesedihan. Mereka amat riang dan bersahabat denganku. Senyuman mereka, kepalan tangan mereka, juga pasti akan berpengaruh untuk kemajuan bangsa ini dimasa depan. Namun ketiadaan mereka di tanah yang pantas pendidikan membuat mereka diabaikan.
            “Woi… Aku tahu siapa pelaku yang membakar habis Tabulabu.” Pekikan seseorang dari kejauhan membuat aku bersama naka memberhentikan aktivitas kami sejenak.
            Aku berlari menjumpai warga yang memboyong dua orang berseragam hitam dengan topi bundar yang melingkup di kepalanya. Ternyata dua orang tersebut berasal dari kota. Mereka ingin menguasai hutan.
            “Sejak dulu mereka mengusir kami Thomas. Awalnya dengan diplomasi lembut namun kami tidak terima Thomas tanah kami diambil begitu saja dengan manusia serakah yang ingin merusak alam seperti mereka. Kami tolak mentah-mentah dan sudah 3 kali mereka datang usai diplomasi pertama tapi kami tolak mentah-mentah dan sekarang mereka bertindak kasar kepada kami. Kami temukan mereka di pinggir hutan sedang menebang kayu. Mereka sungguh manusia terkutuk Thomas.” Jelas kepala desa denganku di depan dua orang kota yang membakar Tabulabu.

            Aku tak dapat menahan air mata melihat tangis para naka dan seluruh warga Tabulabu melihat dua orang serakah tersebut dihukum dengan diikat kedua tanggannya. Namun Tabulabu tak butuh belas kasihan mereka untuk mengganti rugi kerugian. Tabulabu tumbuh sendiri bersama alam. Mereka hidup dari alam tak ada campur tangan manusia luar yang membantu. Aku yakin surgaku akan kembali gagah menantang dunia. Sumpahku sejak melihat tangis mereka, aku akan terus dan tetap mencintai surgaku abdiku untuk tanah kedua, Tabulabu.

Pita Manis untuk Hanna

 

            Cakrawala mulai memerah memunculkan sang surya dengan cahaya yang menelisik hingga pelosok negeri. Wajah anggun sang mentari menyapa jiwa-jiwa kemenangan. Hari yang amat ceria, pakaian bersih serba baru. Tampak beberapa anak kecil berlarian kecil di halaman menyambut hari suci. Hari ini hari kemenangan bagi umat islam. Hari Raya Idul Fitri, hari yang dinantikan sekian juta umat manusia di bumi. Setelah pahit getir menjalankan ibadah puasa selama satu bulan. Semua orang berlomba-lomba memohon maaf atas khilafnya, menjalin silaturrahim ke berbagai kerabat.
            Gema takbir menggetarkan jiwa. Hanna terbangun dengan wajah kusut menahan kantuk. Kembali Hanna menarik nafasnya dalam-dalam, melihat ruangan yang kembali sama. Hari ini adalah hari yang sangat dinanti umat muslim, namun kenyataan berbeda dengan kondisinya saat ini. Hanna terbaring kaku di ranjang rumah sakit dengan belalai infus yang membelit di tangan kirinya. Disebelahnya, ada ibu. Ya.. Ibu yang selalu menemani Hanna.
            “Sudah bangun nak? Alhamdulillah kondisi Hanna sudah membaik sayang.” Sahut ibu dengan belaian lembut di rambut Hanna.
            Hanna hanya tersenyum tipis. Tak ingin dilihat sedih oleh ibunya yang memperjuangkan segalanya demi Hanna. Ingin sekali rasanya ia bangun lalu bermain bersama anak sebayanya yang kini tengah menikmati Hari Raya dengan gembira. Memakai baju baru yang masih tercium aroma toko, wajah baru, semangat baru, namun beranjak dari ranjang saja ia jatuh bangun. Hanna gadis kecil berumur 11 tahun yang mengidap penyakit keras, Leukimia. Ia menderita penyakit kekurangan sel darah putih ini sejak berumur 9 tahun. Hatinya selalu ingin bebas, bebas dari segala yang mengikatnya. Namun Tuhan belum mengizinkan Hanna untuk kembali bebas bermain hingga pada hari ini Hanna masih terkukung lemah di dalam ruangan rumah sakit.
            Lain halnya dengan gadis mungil sebaya. Gadis yang memiliki kepribadian yang amat baik. Matanya bulat, pipinya bertirus dengan lesung pipit yang amat memukau. Ia mengenakan baju sederhana berbeda dengan temannya yang lain. Ia sedang mempersiapkan kue cantik dengan hiasan pita manis di atasnya. Trias, nama yang amat cantik secantik hati yang ia miliki. Trias sahabat seperjuangan Hanna. Trias amat merindukan sahabat kecilnya, Hanna. Semenjak Trias pindah rumah ke daerah Bandung, Trias amat jarang bertemu Hanna. Hingga pada hari ini ia ingin memberikan kado kecil yang ia bingkis amat cantik untuk Hanna.
            Trias ke Semarang kediaman Hanna bersama mama dan papanya. Keluarga kecil yang amat bahagia. Selama perjalanan Trias memimpikan kue dengan pita yang amat cantik menghiasinya dinikmati bersama sahabat lamanya. Sahabat suka dan dukanya dulu. Sesampainya di rumah sakit Trias merasakan sesuatu yang amat berbeda, rasa senang yang amat luar biasa. Trias masuk ke dalam ruang VIP tempat dimana Hanna sedang diikat oleh penyakitnya. Tidak ada kejutan, Trias tidak ingin menggangu Hanna, namun dengan cinta yang amat luar biasa sebagai seorang sahabat karib.
            “Happy birthday Hannaaaa…” trias berlari menuju ranjang Hanna lalu memeluk erat kawan lamanya yang  sedang berulang tahun. Genap sudah usia Hanna kini 11 tahun. Dengan perasaan begitu gembiranya Hanna menitikkan air mata kesenangan yang luar biasa.
            “Terima kasih Trias, aku rindu kamu. Kenapa kamu tidak menghubungiku?” Hanna masih memeluk Trias dengan air mata yang membanjiri pipinya.
            Genap sudah usia Hanna menginjak 11 tahun. Tak terasa 2 tahun sudah ia melawan sakit yang amat ganas menggrogoti tubuh mungilnya. Hingga didetik-detik hari kemenangan dan tepat di hari ulang tahunnya, ia menghembuskan nafas terakhir dengan membawa sejumput kesenangan yang tak akan dapat tertukar. Hari ini batu besar sedang menghujat jiwa yang menyayangi Hanna. (BEALOVE//RIFDAVIRANA)